Praktisi ISO Management System and Compliance

TikTok di Sekolah: antara Larangan dan Ketidakpahaman

5 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Gen Z lebih suka kerja freelance
Iklan

Sekolah larang TikTok, tapi pemerintah pakai untuk kampanye. Apakah kita sedang menghukum kreativitas siswa karena takut pada zaman yang berubah

***

Hari itu, suasana ruang guru tegang. Bu Siti, guru Bahasa Indonesia, melempar handphone ke mejanya. “Anak-anak sekarang lebih hafal dance TikTok daripada puisi Chairil Anwar! Kemarin, waktu ulangan, ada yang jawab ‘viral’ di kolom esai tentang makna lagu!” Para guru tertawa, tapi saya diam. Saya teringat Raka, murid kelas VII yang minggu lalu dipanggil ke kantor kepala sekolah karena membuat konten edukasi sejarah di TikTok.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Raka bukan anak bermasalah. Ia pendiam, jarang bicara di kelas, tapi nilainya selalu di atas rata-rata. Namun, ia punya cara belajar yang unik: ia merekam dirinya menjelaskan materi pelajaran dengan gaya narasi ala podcaster muda, lalu mengunggahnya di TikTok. Video pertamanya berjudul G30S/PKI dalam 60 Detik (Tanpa Hoaks!). Dalam waktu tiga hari, videonya ditonton lebih dari 200 ribu kali. Banyak komentar dari sesama pelajar, “Baru ngerti sekarang, makasih bro!”, “Ini lebih enak didenger daripada guru ngajar monoton.”

Namun, alih-alih diapresiasi, Raka malah dihukum. HP-nya disita, akunnya diminta ditutup, dan orang tuanya dipanggil untuk “konseling”. Alasannya: pelanggaran aturan sekolah yang melarang penggunaan ponsel dan media sosial di lingkungan pendidikan.

Beberapa minggu kemudian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran resmi: larangan penggunaan TikTok di sekolah. Tujuannya baik, yakni mencegah distraksi, melindungi siswa dari konten negatif, dan menjaga fokus belajar. Tapi apakah larangan total adalah jawaban yang tepat?

Saya pikir tidak. Karena di balik kekhawatiran yang sah, ada sesuatu yang lebih dalam: ketakutan generasi tua terhadap perubahan zaman. Kita melihat TikTok sebagai ancaman, bukan sebagai peluang. Kita memperlakukan teknologi seperti musuh, bukan sebagai alat.

Padahal, anak-anak sekarang hidup di dunia yang berbeda. Mereka lahir di era digital. Otak mereka terbiasa dengan informasi cepat, visual dinamis, dan interaksi instan. Mereka tidak belajar dengan cara yang sama seperti kita dulu—duduk diam, mendengarkan guru, mencatat di buku. Mereka belajar lewat video, audio, animasi, bahkan meme. Dan TikTok, entah suka atau tidak, telah menjadi salah satu platform pembelajaran paling efektif bagi mereka.

Bayangkan jika sekolah-sekolah di Indonesia tidak melarang, tapi justru membimbing. Bayangkan jika guru membantu siswa membuat konten edukasi yang kreatif, informatif, dan sesuai kurikulum. Bayangkan lomba “TikTok Edukasi Nasional” untuk siswa SMP-SMA, dengan kategori sejarah, sains, bahasa, bahkan matematika. Bayangkan Raka menjadi juara, dipuji, dan dijadikan contoh—bukan dikucilkan.

Itu bukan mimpi. Di beberapa negara, pendekatan seperti ini sudah diterapkan. Di Thailand, sekolah-sekolah memberi pelatihan literasi digital dan membiarkan siswa membuat konten edukasi di TikTok sebagai bagian dari proyek belajar. Di Amerika Serikat, banyak guru menggunakan TikTok untuk menjelaskan konsep kimia, fisika, atau sastra dengan cara yang menyenangkan—dan viral.

Di Indonesia, kita malah memilih jalan termudah: larangan. Karena lebih gampang mengatakan “tidak boleh” daripada repot membuat regulasi yang bijak, pelatihan yang memadai, atau sistem pendampingan.

Akibatnya? Anak-anak tetap akan menggunakan TikTok—tapi secara sembunyi-sembunyi. Mereka tidak belajar etika digital, tidak diajarkan cara menyaring informasi, tidak dilatih menjadi konten kreator yang bertanggung jawab. Mereka hanya jadi pintar menyembunyikan ponsel dari guru.

Lebih ironis lagi, pemerintah sendiri menggunakan TikTok untuk kampanye publik—mulai dari vaksinasi hingga pariwisata. Lalu kenapa anak-anak dilarang menggunakan platform yang sama?

Kita sedang mengirim pesan yang salah: bahwa teknologi itu berbahaya kalau digunakan oleh rakyat, tapi aman kalau digunakan oleh pejabat.

Padahal, masa depan Indonesia tidak akan dibangun oleh anak-anak yang hafal buku teks, tapi oleh mereka yang bisa berpikir kritis, berkomunikasi kreatif, dan memanfaatkan teknologi untuk solusi. Dan TikTok, jika digunakan dengan benar, bisa menjadi salah satu jalannya.

Alih-alih melarang, sekolah harus menjadi tempat eksperimen. Ajarkan literasi digital sejak dini. Sertakan modul content creation dalam kurikulum. Libatkan orang tua dalam diskusi tentang batas aman penggunaan media sosial. Jadikan TikTok sebagai alat, bukan ancaman.

Generasi Z bukan anak yang malas atau kecanduan layar. Mereka adalah generasi yang mencari cara baru untuk mengekspresikan diri, memahami dunia, dan berkontribusi. Hanya saja, bahasa mereka berbeda. Dan jika kita tidak berusaha memahaminya, kita akan kehilangan mereka.

Saat Raka pulang sore itu, saya melihatnya duduk di tangga sekolah, menatap ponselnya yang kosong—akun TikTok-nya sudah tidak ada. Saya ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

Yang saya tahu: kita tidak boleh terus menghukum anak karena terlalu kreatif. Karena di balik layar kecil itu, mungkin ada calon ilmuwan, pendidik, atau pemimpin masa depan yang sedang belajar menyuarakan idenya dengan cara yang mereka pahami.

Dan jika kita terus membungkam mereka dengan larangan, bukan tidak mungkin suatu hari nanti, mereka akan berhenti bersuara sama sekali.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler